Ajeng
Pagi ini aku berdoa untuk
seorang gadis yang telah lama tak kembali ke rumah ini. Dia yang selalu aku
rindukan. Dalam doa, aku berharap dia baik baik saja disana. Aku tidak pernah
ingin mengganggu hidupnya tapi, dia anakku. Dia anakku yang dulu masih sangat
kecil sekarang sudah tumbuh menjadi gadis dewasa. Aku tahu cita-citanya
setinggi apa. Dan aku hanya ingin memberikan yang terbaik untuk dia.
Rumah ini adalah
satu-satunya harta yang tersisa untuk dia. Aku memang tidak hidup sendiri
tapi Ajeng adalah jiwaku.
“Doa apalagi yang kamu
panjatkan untuk Ajeng, Bu?” suara lembut suamiku dan tepukan tangan kasarnya
dibahuku membuyarkan lamunanku dalam doa subuh ini.
“enggak pak, aku hanya
merindukan Ajeng”. Jawabku pelan.
“Ajeng sudah melupakan
kita mungkin Bu, ini sudah tahun ke-5 dia kuliah di Surabaya tapi tak ada kabar
dari dia. apakah dia sudah lulus apa belum, kita tidak tahu.” Sambil berlalu
pergi, meninggalkan tempat sholatku.
Sementara itu di kota lain yaitu Surabaya, Ajeng masih tertidur pulas dibalik selimutnya. Lagi-lagi dia tidak
menunaikan ibadah sholat subuh. Kehidupan Ajeng yang selama ini dibayangkan kedua orang
tuanya sangat berbanding terbalik dengan keadaan sebenarnya. Lima tahun sudah
dia di Surabaya dan seharusnya dia sudah lulus tahun lalu.
“woi bangun woi”
Seorang cewek bertubuh
kekar tiba-tiba masuk kedalam kamar Ajeng yang berantakan itu. Tapi Ajeng tidak
bangun juga dari tidur pulasnya itu.
“apaan sih? Iya ini mau
bangun”
Dengan malas, Ajeng bangun
dari tempat tidur dan langsung kekamar mandi kemudian berbenah diri untuk
kuliah.
Kehidupan Ajeng memang
tidak ada yang tahu. Dia cukup tertutup dikalangan temannya. Apa yang mereka
lihat hanyalah Ajeng ketika di kampus, d luar itu Ajeng adalah orang lain. Dia
juga terkenal sebagai seorang mahasiswa yang pendiam. Sebenarnya pintar tetapi
banyak hal yang menjadikan Ajeng berantakan kuliahnya. Dan sore ini, tanpa
berkata apa-apa Ajeng langsung keluar kelas dan meninggalkan teman-temannya.
“Mau kemana, Jeng?” tanya
salah satu teman Ajeng bernama Ferri.
“Ah enggak. Ada urusan.
Duluan ya…“ jawab Ajeng sambil berlari.
Sejak pertama kali menjadi
mahasiswa baru, Ferri sudah sering memperhatikan Ajeng yang notabene adalah adik tingkatnnya Ferri. Namun karena, Ajeng sering ikut kelasnya Ferri, mereka jadi akrab.
Rasa penasaran Ferri terhadap kehidupan Ajeng membuat Ferri ingin tahu lebih
dalam apa yang dilakukan Ajeng di luar kampus. Akhirnya, sore itu pun Ferri
nekat untuk mengikuti Ajeng.
Ajeng dengan tergesa-gesa
berlari dan masuk gang kecil dekat kampus. Di sana terdapat rumah kecil yang di
depannya ada taman-taman yag cukup indah dengan bunga dan rumput. Dari kejauhan
Ferri melihat rumah itu. Ferri Nampak terkejut ketika banyak anak-anak kecil berumur
7-12 tahun keluar dari rumah itu. Anak-anak itu terlihat kurus, kotor, tidak
terawat dan sepertinya tidak punya keluarga.
“Kak Ajeng, kak Ajeng
datang…” seru anak-anak yang keluar dari rumah itu.
“Haduh… maaf ya kakak
telat. Sudah nunggu dari tadi ya?”. Ferri semakin bingung, dengan kehidupan
Ajeng. Banyak tetangga-tetangga kosnya yang bilang kalau Ajeng itu sering
pulang malam.
“Aneh? Apa gara-gara ini
ya Ajeng jadi molor kuliahnya? Tapi mengapa mereka bilang kalau Ajeng sering
pulang malam? Siapakah anak-anak kecil itu? Dan apa hubungannya dengan Ajeng?
Mengapa dia sepertii sangat menyayangi anak-anak itu?”
Sambil terus berfikir,
Ferri meninggalkan rumah itu. Sampai jam 8 malam, Ajeng baru keluar lagi dari
rumah itu. Dengan wajahnya yang tampak kusam, ia kembali pulang ke rumah.
“ Seharusnya aku tidak di
sini lagi. Harusnya aku sekarang sudah menjadi karyawan di sebuah kantor. Atau
aku sekarang ada di rumah bersama keluargaku. Ah… kenapa tiba-tiba aku
merindukan ibu dan ayahku. Sejak tiga tahun yang lalu aku sudah memutuskan
untuk tidak menghubungi mereka lagi. Biarlah kehidupanku di sini hanya aku saja
yang tahu. Dan suatu saat aku memang harus pulang. Tapi entah kapan, ketika aku
sudah tidak menjadi seperti ini lagi. Dan ketika aku sudah siap untuk bertemu
ibu dan ayah maka aku pulang. Ibu… Ajeng selalu menyayangi ibu. Maafkan Ajeng
yang berbuat seperti ini. Dan Ayah… Ajeng akan pulang , ayah pasti tidak
mengkhawatirkanku kan? Ajeng
berharap,ayah bisa menjaga perasaan ibu. “
Lagi-lagi malam ini Ajeng
membuat aku tidak bisa tidur. Tiga tahun bukan waktu yang lama untuk seorang
ibu yang harus menunggu anaknya pulang. Terakhir Ajeng masih mencium tangan ini
dan meminta doa pada seorang wanita tua seperti aku. Aku harus bisa bertemu
Ajeng.
“Ibu kenapa belum tidur?”
“Kak, besok ibu mau ke
Surabaya.”
“Ha? Ngapain bu?”
“Ibu mau mencari Ajeng
pak, ibu sudah tidak bisa menunggu lagi.”
“Tapi bu, Surabaya itu
jauh, kita tidak tahu apa-apa tentang Surabaya.”
“Tapi ibu harus ketemu
sama Ajeng pak… Ini sudah keterlaluan. “
“Hm… Terserah ibu saja
lah.“
“Bapak itu tidak pernah
khawatir sama Ajeng. Apa bapak sudah nggak sayang lagi sama Ajeng? Ajeng itu
anak kita Pak!!” air mataku pun tidak tertahankan lagi. Aku menangis didepan
suamiku untuk kesekian kali.
“ Bapak sayang sama Ajeng,
bu. Ya sudah besok bapak akan telepon kantor dan minta ijin beberapa hari.
Besok kita ke Surabaya”
Sampai tengah malam, aku
masih bisa tidur. Wajah Ajeng terbayang-bayang dipikiranku. Aku sudah tidak
sabar untuk bertemu Ajeng.
Malam cepat berlalu.
Selesai sholat Subuh, aku dan suamiku menuju terminal. Dalam waktu 8 jam aku
sudah sampai di sebuah kota yang cukup besar. Surabaya. Kota inilah yang telah
membuat Ajeng tidak pernah pulang ke
rumah . Kota inilah yang menjadi cita-cita Ajeng dulu. Dan kota inilah yang
menjadikan aku berada di sini sekarang.
“Kita ke mana ini, pak?”
“Bapak nggak tahu, bu...”
“Hadeh…”
Mungkin tindakanku untk
nekat pergi ke Surabaya seperti sebuah tindakan yang bodoh. Berjam-jam aku dan
suamiku keliling kota Surabaya. Tapi tidak juga menemukan Ajeng. Kota ini
terlalu luas untuk dua orang kampung seperti aku dan suamiku.
“Sudah sore pak..”
“Ibu capek?”
“Enggak pak, tapi kita
sholat dulu aja.”
Aku dan suamiku berhenti
di sebuah masjid Agung yang indah sekali. Aku sholat Ashar berjamaah dengan
suamiku. Dalam doa, aku sangat berharap agar mala mini juga aku bisa bertemu
dengan Ajeng.
“Bagaimana bu, kita
lanjutkan sekarang atau besok saja?”
“Sekarang saja, pak. Ibu
belum capek kok.”
Akhirnya aku memutuskan
untuk kembali melanjutkan perjalanan. Sekarang aku berada pada sebuah tempat
yang aneh. Di sana banyak sekali orang yang berlalu lalang. Banyak perempuan-perempuan
seusia Ajeng berpakaian minim. Aku miris melihatnya. Ini seperti tmpat
pelacuran. Dan sepertinya memang benar. Aku terus berdoa agar idak menemukan
Ajeng di sini.
“Bu itu Ajeng bu…” kata
suamiku sambil menunjuk seorang gadis berpakaian seksi sedang merayu
bapak-bapak.
“Astaghfirullah… iya Pak,
itu Ajeng”
Aku berjalan setengah
berlari menghampiri Ajeng. Dan ternyata benar itu Ajeng anakku. Yang ketika
pertama kali berangkat ke Surabaya dia janji akan kembali dengan sebuah
kebanggaan.
“Ajeng!!” Teriak ku.
“ibu.. “ Ajeng Nampak
terkejut dan terlihat ketakutan.
“apa yang kamu lakukan,
nak? Tiga tahun kamu seperti ini?”
“ibu, malu bu dilihat
orang banyak…” sela bapak.
“biar pak, ibu juga malu
punya anak seperti Ajeng. Ibu dirumah terus-terusan berdoa untuk Ajeng anakku.
Ibu dirumah terus-terusan berdoa untuk Ajeng anakku. Tiap malam ibu nggak bisa
tidur memikirkan Ajeng anakku. Ibu bela-belain ke Surabaya dan apa yang aku dapati sekarang?"
“ibu… maafkan Ajeng, Bu.
Ajeng tidak pernah ingin mrnjadi seperti ini. Maafkan Ajeng Bu…”
“sampai kamu berlutut
mencium kaki ibumu ini, ibu masih sakit hati. Sekarang terserah kamu!”
Aku menarik tangan suamiku
dan meninggalkan Ajeng yang masih berlutut itu. Tapi hati seorang ibu tidak
akan pernah bohong. Karena aku masih ingin tahu alas an apa yang menjadikan
Ajeng seperti ini. Tiga tahun dia tidak memberikan kabar dan tidak meminta uang
kepadaku. Apa karena dia ingin membiayai kuliahnya sendiri.
“ibu penasaran Pak”.
“sama Ajeng? Harusnya kita
mendengarkan penjelasan Ajeng dulu Bu..”
“permisi Pak… Bu…”
Tiba-tiba seorang
laki-laki menghampiriku dan suamiku.
“iya. Ada apa?” jawab
suamiku.
“ibu dan bapak ini orang
tuanya Ajeng ?”
“iya. Kamu siapa?”
jawabku.
“perkenalkan saya Ferri
Pak, Bu teman kuliahnya Ajeng”
“teman kuliah? Kebetulan
nak, apa yang kamu ketahui tentang Ajeng selama ini?” Tanyaku sedikit memaksa
Ferri untuk menjawab pertanyaanku.
“mari ikut saya Bu..”
Anak laki-laki itu
mengajaku berjalan dari tempat aneh ini. Aku dan suamiku mengikutinya tanpa
berkata sesuatu apapun. Kami berjalan ditengah keramaian kota dan tanpa ada
percakapan didalamnya. Ferri membawaku dan suamiku ke tempat sepi, agak kumuh,
dan ada sebuah rumah kecil yang tampak hanya dengan pencahayaan yang sederhana.
“tempat apa ini, nak?”
“ibu nanti akan tahu
sendiri apa yang ada di dalamnya”
Aku hanya diam mengikuti
Ferri masih ke dalam rumah itu. Dan disana, aku menemukan Ajeng sudah memakai
jilbabnya tapi sedang bersama anak-anak kecil makan bareng.
“ibu?” Ajeng terkejut.
“iya ini ibu.”
“kenapa ibu bisa samapi
disini?”
“ferri yang membawa ibu
kesini. Mereka ini siapa?”
“ini anak didik Ajeng Bu, ibu,
ijinkan Ajeng menjelaskan semuanya.”
“tidak perlu nak, ibu
mengerti sekarang. Dan mala mini juga ibu akan kembali pulang kerumah.”
“kenapa?” Tanya Ajeng
sambil meneteskan air mata.
“pulanglah kamu ketika
kamu sudah yakin untuk pulang. Untuk sesuatu yang mulia maka mulailah dengan
sesuatu yang mulia pula. Berhentilah menjadi pelacur nak!”
Aku pulang malam itu juga.
Dan dengan segala keikhlasan aku meninggalkan anakku menangis didalam rumah
itu. Aku pulang bukan karena membenci anakku tapi karena aku sekarang telah
memiliki keyakinan yang sama seperti suamiku bahwa Ajeng akan pulang suatu saat
nanti ketika dia sudah siap. Bagiku sekarang Ajeng adalah anakku yang berhati
mulia. Dan aku bangga dengan Ajeng.