Minggu, 08 April 2012

ini cerpen pertamaku

KEMERDEKAAN DI HATI IBU

“Adik,.. nanti kalau sudah besar ingin jadi apa?”
“Adik ingin jadi pemain cepak boya,.cepelti ilpan badim..”
“kenapa pemain sepak bola dik?”
“coalnya kan Galuda di dadaku kak.”

Seperti itu obrolanku dengan adikku saat masih berumur 4 tahun yang sekarang sudah berusia 12 tahun. Cita-citanya dari dulu adalah jadi pemain Timnas Indonesia. Aku kadang tidak mengerti dengan apa yang dikatakanya, setiap ditanya kenapa sepak bola jawabannya selalu garuda di dadaku. Dan ibuku selalu tersenyum manis sekali setiap mendengar obrolan itu.

“Adik masih mau jadi pemain sepak bola?”
“iya lah kak,. Adik percaya kalau setiap hari rajin berdoa pasti dikabulkan sama Allah. Aku setiap hari berdoa, meminta pada Allah agar kaki ku ini jadi kaki yang hebat.”
“kenapa Timnas?”
“yaa,..aku bangga jadi anak Indonesia. Kak, Timnas sekarang itu keren, pemainnya hebat-hebat, dan nanti kalau Adik sudah besar, hmm akan membanggakan Indonesia dengan prestasi ku, membanggakan Ibu dan Kakak juga.”

Aku bahagia melihat adikku yang selalu konsisten dengan cita-citanya. Dia selalu bercerita dengan antusias tentang sekolah bolanya, bercerita tentang bagaimana saat dia ada di posisi penyerang, saat mencetak gol, saat jungkir balik mencoba jadi keeper. Aku hampir meneteskan air mataku ketika semua bayangan itu teringat kembali di pikiranku. Dua hari sebelum hari ini, aku masih melihat adikku bermain bola dengan lincahnya di halaman depan rumah. Berlari-larian sana kemari sambil melempar senyum ke Ibu yang sedang menyiram tanaman.  Tapi sekarang keadaan telah berubah. Kemarin, sebuah truck melindas kaki mungil adikku, kaki impian adikku, kaki yang selalu dia doakan setiap hari agar jadi kaki yang hebat. Dia masih berada dalam alam bawah sadarnya sekarang. Mungkin dalam perjalanan tidurnya itu dia sedang bermain sepak bola dengan idolanya atau bahkan dia bertemu dengan ayah yang dulunya juga pemain sepak bola hebat. Adikku sayang, aku tak tega melihatnya.

“Tuhan,…cobaan apa lagi yang Kau berikan ini? Dengan santainya Kau mengambil kaki kebanggaan anakku. Apa yang Kau mau Tuhan? Setiap hari anakku berdoa, bersujud, meminta memohon kepadamu agar kelak kakinya jadi kaki yang hebat. Kaki yang selalu mencetak gol untuk kemenangan Indonesia. Lalu apa arti semua doa yang telah dipanjatkan jika Kau dengan mudahnya mengambil kaki itu?”
“Ibu,..sudahlah bu,. Allah punya rahasia di balik semua ini. Setiap musibah yang di berikan pasti selalu ada hikmah setelahnya yang bisa kita ambil”
“Hah? Hikmah kamu bilang? Hikmah apa lagi? Setelah ayahmu meninggal gara-gara bola, Ibu masih bisa mengambil hikmah karena Ibu diberikan seorang anak laki-laki yang hebat, hingga Ibu merasakan bahwa Tuhan telah menghadirkan ayahmu lagi di kehidupan ibu. Lalu?

Aku terdiam mendengar kalimat terakhir Ibu, aku hanya tidak mau Ibu selalu menyalahkan Allah atas semua yang terjadi pada adikku. Ibu terus menangis, mendongak ke atas dan mulai memaki-maki Yang Maha Penyayang itu.

“Ibu cukuplah bu,.”
“Tuhan tidak pernah merasa cukup, selalu mengambil yang berharga dari hidup Ibu. Lihat, kaki adikmu di potong. Apakah ini doa adikmu yang selalu dia panjatkan setiap harinya?”

Aku hanya membatin saja melihat Ibu terus mengumpat. Aku menatap wajah polos adikku yang terbaring dengan satu kakinya yang tersisa. Aku juga masih belum bisa membayangkan apakah nantinya sikap adikku akan sama seperti itu jika mengetahui keadaannya yang sekarang.

“Ya Allah,.. aku tahu Engkau mengambil kaki Adikku bukan semata-mata karena hanya ingin mengambinya. Engkau Maha pengasih ya Allah, Engkau juga penyayang. Berikanlah kekuatan untuk adikku jika ini memang yang terbaik untuknya. Maafkan juga Ibuku ya Allah, keadaan Ibu masih kacau, Ibu tidak sepenuhnya mengucap seperti itu tentang Engkau. Ibu hanya belum rela ketika beliau harus kehilangan ayah dan sekarang harus melihat keadaan Adik seperti ini. Hamba akan selalu memanjatkan doa kepadamu ya Allah, agar Engkau masih dan akan terus meridhoi keluargaku ini.”

Aku menangis tapi tak ku tunjukkan air mata ku pada ibu. Aku berusaha kuat di depan Ibu dan tetap dengan tenang mengusap pundak Ibu.
Tidak berapa lama akhirnya Adikku tersadarkan juga, efek obat bius yang telah membawanya ke alam bawah sadar selama sehari itu sepertinya sudah mulai habis. Adikku masih belum tahu tentang keadaan kakinya yang telah diamputasi. Dengan tenang, aku dan Ibu mendekatinya. Tapi Ibu terus menangis, Ibu menangis tanpa henti, memeluk erat tubuh ceking adikku itu.

“Ibu kenapa menangis? Adik baik-baik saja bu,. Justru, aku sangat bahagia, tadi adik ketemu ayah, adik diajak main bola sama ayah bu,. Ayah hebat ya bu, Adik juga ingin jadi kayak Ayah, pemain bola yang hebat. Garuda masih di dadaku, seperti kata ayah tadi bu, dengan bangga ayah mengucapkan kalimat itu sambil meletakkan kepalan tangan kanannya di dada kiri ayah. Ayah begitu bangga dengan Indonesia. Aku juga bangga dengan Ayah.”

Aku dan Ibu semakin tak kuasa menahan tangis mendengar kalimat demi kalimat yang terucap tulus dari bibir adikku. Dengan bangga dia menyebut Ayah, dengan bangga juga dia menyebut Indonesia. Oh,.pahlawan kecilku. Kemudian, secara hati-hati Ibu menceritakan apa yang terjadi dengan adikku sekarang setelah kecelakaan itu. Ibu mengeluarkan kata demi kata dan diutarakan dengan begitu lembutnya yang diharapkan dari susunan kata yang dirangkai Ibu itu tidak akan membuat adikku terpukul. Aku melihat wajah polos adikku, mata yang tadi berbinar-binar kini mulai berkaca-kaca dan menitikkan air mata. Aku melihat adikku begitu tegar, dengan cermat mendengarkan ibu berbicara. Aku kaget, ketika adikku tiba-tiba menoleh melihatku dan tersenyum manis sekali.

“Maafkan ibu,. Maafkan ibu,. Maaf”
Ibu masih terus saja menangis. Sekarang ibu menyalahkan dirinya sendiri karena pada sore itu, Ibu membiarkan adik pulang sendiri dari sekolah bolanya.

“Ibu,..jangan nangis,. Adik baik-baik saja bu,. Mungkin Allah punya rencana lain. Selama ini adik berdoa biar di berikan kaki yang hebat. Tapi ternyata, Allah memberikan lebih dari itu bu,. Allah memberikan Ibu yang hebat, Kakak yang manis, Ayah yang hebat pula. Tiba-tiba Adik dapat kekuatan bu,.tidak apa-apa kok jika kaki yang sangat aku banggakan ini harus diambil. Tapi, adik juga sedih bu, tidak bisa main bola lagi dengan kaki hebat ini. Ibu,.. tadi ayah juga berpesan, jika Adik tidak bisa membanggakan Indonesia dengan mencetak gol sebanyak-banyaknya, Adik harus tetap menaruh Garuda ini di dadaku. Jadi, adik harus kuat kan bu? Adik masih bisa jadi anak Indonesia yang membanggakan dengan prestasi yang lain.”

Senyum lebar adikku pun membuat hati Ibu dan hatiku terasa sakit. Ibu kemudian dalam isak tangisnya bersyukur atas kemerdekaan hati yang telah diberikan kepadanya. Anak laki-laki Ibu yang berusia 12 tahun itu telah memenangkan pertempuran dalam hati ibu sebelum adik sadar. Dengan keikhlasan hatinya, adikku masih dengan bangga mengepalkan tangan kanannya dan menaruh di dada kirinya. Di usia yang masih sangat muda, adikku harus kehilangan segala impiannya, cita-citanya jadi pemain bola. Allah telah punya rencana lain untuk adikku yang hebat ini. Sebuah pelajaran lagi untukku, bahwa kemerdekaan hati Ibu justru dimenangkan oleh senyum manis adikku. Seolah-olah tidak sedang terjadi apa-apa saat itu. Ibu semakin erat memeluk tubuh ceking adikku itu. Dan aku tersenyum bangga dengan pemandangan mengharukan di depanku. Oh,..adikku sayang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar